Friday 25 January 2013

Sunyi Tanpa Aksara

Aku mendengar angin malam menangis, dan aku bertanya,
''Mengapa engkau menangis, wahai sahabatku angin malam ?''
Desiran mu begitu menyayat kudengar, bagai ratapan anak yg kehilangan ibunya,
Dan sang anginpun menjawab lirih,
''Sebab aku kesepian. Kulewati hamparan lembah, hanya keheningan yg kudapat.
Dan akupun melintasi hamparan gurun nan luas, hanya kesunyian yg menemaniku.
Aku kesepian, berkawan dalam kesendirian, memagut kehampaan''.

Dan akupun mendapati, seekor belibis putih yg tengah terisak lirih
Lalu akupun bertanya,
''Mengapa engkau pula menangis dikeheningan malam ini, duhai belibis putih nan elok ?''
Dan sang belibis pun mengepaknya sayapnya, seraya mendekati dengan lunglai
Dan jawabnya padaku,
''Aku menangis dikesendirian malam ini, mengenang kekasihku yg kini tak tahu dimana berada.
Dan disini ditelaga sepi ini, tlah tujuh purnama aku menantinya. Menanti janjinya tuk kembali padaku''.

Dan samar samar aku mendengar dalam diriku sendiri, erangan lirih dibalik rupa
Mendesah dalam kepedihan, mengerang dalam kelukaan
Dan aku tak mampu tuk bertanya, dan aku tak mampu lagi untuk menjawab
Bahkan tuk mengingat apa yg tengah terjadipun aku tak tahu
Yang kurasakan hanya ketiadaan dibalik wujud purwa ini

Lalu aku berjalan menyusuri sisa malam, melepaskan sgala penat ku atas bincang alam
Mengeja makna demi makna yg disampaikan awan kepada bumi
Mengurai arti demi arti yg diucapkan air kepada tasik
Tak syak lagi hampa, sepi dan kelukaan hanya berujung pada isak perih
Hampa, sepi dan kelukaan hanya melukiskan raut ketiadaan makna