tuhan, dengarlah kami
kota bagai meratap dikepung khianat
hingga batas lengking teriak menembusi
langitpun langit tak berpenghuni
hanya makhluk-makhluk suci mencatati
langitpun langit semburatkan mendung hitam
mengumpulkan awan menjadi pusaran angin
dan manusia kepala batu, hanya menjawab dengan senyum
padahal janji itu masih terlihat basah di bibir
sedang luka dibiarkan geletak mengering-dingin
tubuh mereka penuh goresan kata-kata yang dipecut
serta ribuan kaki dipukul mundur dalam berlari menyingkir
tiada dengar, kata-kata yang lahir dari rahim kemiskinan
oroknya kering terbaring di pinggir peradaban pemuja tahta
semua saling rebutan, kebengisan bersetubuh keangkuhan
dan dari mata mereka telah berjatuhan duka-duka yang terpinggirkan
terasa darah air mata beranak pinak kebencian menyengsara
kota bagai meratap dikepung khianat
lalu sedari kecil bocah-bocah itu mengenali wajah negeri
negeri ini hanya setitik dari wajah bumi
namun angkara merajalela
langitpun langit telah meniti-tanggakan doa
naik pada tujuh undakan, akhir pengaduan
Batulicin, 09 Februari 2013
Puisi Hati Bumi 08
Jam 22.47 WIT
tuhan, dengarlah kami
kota bagai meratap dikepung khianat
hingga batas lengking teriak menembusi
langitpun langit tak berpenghuni
hanya makhluk-makhluk suci mencatati
langitpun langit semburatkan mendung hitam
mengumpulkan awan menjadi pusaran angin
dan manusia kepala batu, hanya menjawab dengan senyum
padahal janji itu masih terlihat basah di bibir
sedang luka dibiarkan geletak mengering-dingin
tubuh mereka penuh goresan kata-kata yang dipecut
serta ribuan kaki dipukul mundur dalam berlari menyingkir
tiada dengar, kata-kata yang lahir dari rahim kemiskinan
oroknya kering terbaring di pinggir peradaban pemuja tahta
semua saling rebutan, kebengisan bersetubuh keangkuhan
dan dari mata mereka telah berjatuhan duka-duka yang terpinggirkan
terasa darah air mata beranak pinak kebencian menyengsara
kota bagai meratap dikepung khianat
lalu sedari kecil bocah-bocah itu mengenali wajah negeri
negeri ini hanya setitik dari wajah bumi
namun angkara merajalela
langitpun langit telah meniti-tanggakan doa
naik pada tujuh undakan, akhir pengaduan
Batulicin, 09 Februari 2013
Puisi Hati Bumi 08
Jam 22.47 WIT
kota bagai meratap dikepung khianat
hingga batas lengking teriak menembusi
langitpun langit tak berpenghuni
hanya makhluk-makhluk suci mencatati
langitpun langit semburatkan mendung hitam
mengumpulkan awan menjadi pusaran angin
dan manusia kepala batu, hanya menjawab dengan senyum
padahal janji itu masih terlihat basah di bibir
sedang luka dibiarkan geletak mengering-dingin
tubuh mereka penuh goresan kata-kata yang dipecut
serta ribuan kaki dipukul mundur dalam berlari menyingkir
tiada dengar, kata-kata yang lahir dari rahim kemiskinan
oroknya kering terbaring di pinggir peradaban pemuja tahta
semua saling rebutan, kebengisan bersetubuh keangkuhan
dan dari mata mereka telah berjatuhan duka-duka yang terpinggirkan
terasa darah air mata beranak pinak kebencian menyengsara
kota bagai meratap dikepung khianat
lalu sedari kecil bocah-bocah itu mengenali wajah negeri
negeri ini hanya setitik dari wajah bumi
namun angkara merajalela
langitpun langit telah meniti-tanggakan doa
naik pada tujuh undakan, akhir pengaduan
Batulicin, 09 Februari 2013
Puisi Hati Bumi 08
Jam 22.47 WIT