Thursday 17 November 2011

CERPEN: Daun Berguguran

Kupandangi langit pagi yang biru dan embun di rumput-rumput.  Alangkah indah, fikirku.  Ada juga daun-daun gugur di antara rumput yang menyambut musim gugur.  Aku pun akan seperti itu, fikirku lagi sambil tersenyum, mengamati satu persatu dedaunan itu gugur.  Jika sebentar lagi aku mati, aku akan sama dengan mereka.  Setelah mati, tidak akan ada lagi rasa sakit. Tidak akan ada lagi duka, dan tidak akan ada lagi pengkhianatan....


Doktor Haryati dengan tatapan prihatinnya sudah memberitahukan aku apa yang akan terjadi, bahkan sebelum mulutnya membuka bicara. 

“Berapa lama lagi?”  tanyaku sebelum ia menemukan kata-kata. 

“Bi.. saya tidak bermaksud berkata begitu.  Jangan terlalu pesimis..”  jawabnya, cuba membetulkan kata-kata agar aku tidak tersinggung.  Aku hanya menghela nafas. Malah sudah lama bersedia menghadapi kenyataan ini.

“Doktor tidak bermaksud berkata begitu, tapi doktor....sebenarnya ingin berkata begitu?”   tanyaku lagi sambil tersenyum.     “Saya tidak apa-apa, doktor.  Katakan saja.”

“Tidak mudah menemukan wanita setegar kamu, Bi,”   ucap doktor Haryati dengan senyuman pahit.    “Saya harap kamu tetap tegar dan optimis, seperti Bintang yang saya temui dulu pertama kali.  Terapi-terapi peyinaran tidak cukup banyak membantu, malah merosak jaringan organ kamu yang lain. Sebaiknya kamu berhenti terapi di sini saja.”

“Tidak ada harapan lagikah, doktor?”

“Tapi bukan bererti di luar sana tidak ada doktor lain yang lebih hebat dan boleh menyembuhkan kamu, bukan? Cubalah berubat ke luar negeri, di sana teknologi sainsnya jauh lebih maju...”

Aku menghela nafas lagi. Semua ini begitu melelahkan...  Terapi demi terapi, rasa sakit dan rasa sakit. Tapi tubuh ini tidak pernah kunjung membaik. Aku rasa aku tidak kuat lagi. Kebelakangan ini aku baru memikirkan pepatah yang dulu sempat kuanggap aneh: Kesihatan adalah harta yang paling berharga. Ya, kurasa omongan itu benar adanya. 

“Pada jangkaan doktor, tinggal berapa lama lagi usia saya?”

Doktor Haryati menunduk sesaat lalu mengangkat kepalanya. Ekspresinya bagaikan atlit yang kalah bertanding. Dulu aku pernah terfikir menjadi doktor juga, namun kuurungkan niatku ketika membayangkan aku harus menghadapi seorang patient dalam saat seperti ini.  Saat menyedihkan, saat kita kalah. Saat kita harus menyerahkan kembali segalanya pada-Nya. Namun ternyata kini aku harus mengalaminya sendiri. Sebagai pihak yang kalah. Kepalaku berputar. 

“Lima,” kata doktor Haryati akhirnya.  Aku meneka-neka sudah berapa kali dia memberitakan khabar menyedihkan seperti ini pada patientnya.

“Lima bulan?”  tanyaku mohon lebih jelas. Doktor Haryati lalu mengangguk perlahan.

“Bi tidak ingin cuba ke Amerika?”  tanya doktor Haryati memecah keheningan kami seketika.

“Menghabiskan sisa hidup saya ini dengan berubat lagi?  Sepertinya tidak, doktor. Menambah umur sebulan dua bulan tidak akan ada gunanya bagi orang seperti saya. Hidup dengan rasa sakit...  Bukankah lebih baik saya beristirahat dengan tenang saja?”

“Mungkin doktor di sana dapat menyembuhkan kamu! Pergilah, Bi. Pergi untuk sembuh!”  tegasnya memberi semangat buatku. Tapi aku hanya menggeleng dan tersenyum.

“Kata nenek saya dulu, orang yang akan mati tahu, doktor”

“Tahu apa?”

“Tahu bahawa dia akan mati. Dia dapat merasakan takdirnya. Saya rasa saya juga mulai merasakannya.”

“Tidak benar begitu, Bi,”  ujarnya haru padaku, patient yang hampir setahun dirawatnya. Kami bagaikan teman baik. 

“Saya juga sebenarnya tidak pernah percaya hal-hal begitu , doktor. Tapi saya sudah tidak boleh....”

“Hanya Tuhan yang tahu semua Bi. Berusahalah terus. Percayalah,”   hiburnya lagi. 

“Saya ingin, tapi saya.. saya tidak kuat lagi, doktor..!” Satu persatu air mata yang dari tadi kutahan akhirnya jatuh juga, mengaliri wajahku yang pucat. Harus berapa lama lagi? Kulap air mataku dengan kedua telapak tanganku, seperti gadis kecil dua puluh tahun lalu.

“Biar saya beristirehat dengan tenang saja,”  kataku lirih.  Aku menyesal sudah menangis di hadapan doktor Hartini.  Memalukan sekali.   Aku fikir selama ini aku tegar, orang lain tidak akan merasakan ketakutanku yang menakutkan ini.  Rasa itu sudah demikian besar, dan akan terus menekanku.  Lima bulan, lima bulan; gema rasa takut itu makin menjadi. Doktor Hartini menghulurkan selembar tisu padaku sambil menatapku dan tetap membisu.

Aku beranjak dari tempat dudukku. Kristal-kristal kaca yang luruh dari mata seorang berpenyakit ini sudah kuhapus habis.  Akan kuhadapi semua ini. Setelah ini, tidak akan ada air mata lagi.


“Bukankah semua orang pada akhirnya akan mati doktor? Dan bukankah juga yang berbahagia adalah yang cepat meninggalkan dunia yang penuh rasa sakit ini?”

“Jangan cepat melupakan bahawa di dunia juga ada kasih sayang, terselip di antara rasa sakit dan penderitaan,”   jawab doktor Hartini sambil juga berdiri. Kuingat semua kasih sayang itu. Doktor Hartini telah mengingatkan aku akan semua itu.  Akan kuisi sisa hidupku dengan kasih sayang, doktor.... janjiku dalam hati.  Sampai Ia datang menjemputku.. .

“Itu semua yang doktor juga orang-orang lain berikan pada saya. Terima kasih, sudah membantu saya sejauh ini.  Membuat saya bertahan selama ini. Terima kasih.” 


Doktor Hartini menbalas senyumanku, lalu menggiringku keluar menemui mamaku yang menunggu di luar. Kupeluk mama. Wanita yang telah memberiku kehidupan. Mama hanya menangis bercucuran di pelukanku.

“Jangan sedih, ma. Bi baik-baik saja,” hiburku. Dadaku berdebar aneh mengingat secepat ini akan kutinggalkan mama, dan doktor Haryati, semua orang.. . Beginikah rasanya orang yang mendekati kematian?



                                                                ***



Daun-daun gugur itu masih kupandangi lekat-lekat tanpa ghairah, ketika telefon berbunyi. Badanku semakin lemah saja.  Aku mulai terbiasa dengan rasa sakit. Bersahabat dengannya. Kuangkat telefon itu. Mengucapkan ‘halo’ sesemangat mungkin. Biasanya orang-orang menelefon menanyakan khabarku. Lucunya tidak seorang pun berani bertanya bila agaknya aku mati. Biasanya aku yang memberitahu sendiri kepada mereka. Baik kawan maupun lawan, semuanya prihatin padaku. Entah benar prihatin atau tertawa senang di baliknya, aku tetap menghargainya. Rasa-rasanya, belakangan ini hidupku bagai berjalan tanpa dendam. Hidup yang aneh.


Yang menelefon ternyata ayahku. Mungkin dia was-was jangan-jangan puterinya pitam atau mungkin mati dalam rumah sendirian tanpa ada yang tahu lalu menelefon untuk memastikan aku baik-baik saja. Ayah dan mama ada hal di luar bandar dan aku tidak menghalangi mama turut serta dan jangan khuatiri meninggalkan aku. Aku boleh mengurusi diriku sendiri.  Aku malah bukan terlantar di tilam pun untuk dijagai selalu. Dan sebenarnya dijaga atau pun tidak, aku tetap akan mati juga. Mati di sini atau di mana saja mungkin, sama saja padaku. 


“Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada risau tadi.

Aku hanya tertawa dan berbisik padanya dalam telefon,    ”Tidak pernah sebaik ini!”


Beberapa hari setelah percakapan dengan doktor Hartini, aku sering berfikir akan kuapakankah hidupku yang tinggal lima bulan atau mungkin lebih kurang dari itu. Kadang aku ingin memasak seperti Maria, jiranku.  ‘mengekspresikan senyuman dengan masakan’, seperti yang biasanya ia katakan. Atau mencuba memasuki dunia model seperti Misha dan Amel. Namun kuputuskan meneruskan hobi baruku sebagai novelis, meski kurasa aku tak cukup semangat lagi.

Dulu aku fikir aku cukup seronok dengan menulis. Menuturkan suatu kehidupan dengan kata-kata indah sepanjang hidupku, namun tidak kusangka hidupku sendiri begini menyedihkan. Berakhir sampai di sini. Ini bukan pertama kalinya aku mengeluhkan hidupku. Yang pertama terjadi saat malam tahun baru lalu, ketika itu aku sedang menuju kafe tempat aku biasa membeli cheese cake kesukaan kekasihku. Dia akan ke rumahku sepulangnya dari Jepun, bercuti selama seminggu.


Namun kudapati kekasihku, menggenggam mesra tangan wanita berlipstik merah maroon itu di bawah temaram lampu. Dan aku hanya dua meter di belakangnya. Namun akhirnya tidak kuapa-apakan mereka. Kuteruskan langkahku ke cashier memesan roti cokelat dengan hati dan suara yang bergetar. Tidak akan ada lagi cheese cake malam ini. Dia sudah makan cheese cake dengan wanita itu. Wanita yang tidak berpenyakit seperti aku.Cashier yang melayaniku tersenyum manis memberikan wang kembali dan aku berhenti melamun. Kupungut wangnya satu persatu bersama kepingan hatiku yang hancur. Berceceran di mana-mana.

Aku kira aku sedang tengah shooting sebuah sinetron ketika kekasihku menyedari keberadaanku. Dia menghalangi aku dari pergi dan aku terpaksa berdiri di tepi cashier.

”Jangan salah faham,”   mohonnya sambil menahan tanganku, persis adegan suatu filem picisan yang pernah kami tonton bersama di television rumahku. Ah, sinetron. Tidakkah aku terlalu melebih-lebihkan?

“Aku tidak salah faham,”  jawabku jemu. Di mana-mana lelaki sama saja. Kalau memang ingin yang baru, kenapa tidak beritahu saja? Dengan senang hati ia akan kuputuskan! Lelaki memperlakukan wanita seperti spare partkereta! Yang satu mulai rosak, ganti dengan baru. Serakah! Gerutuku dalam hati waktu itu. Ya, waktu itu. Betapa aku penuh emosi. Betapa aku kecewa. Namun di saat seperti ini mengenang saat-saat seperti itu sungguh menyenangkan. Mentertawakan kebodohan masa lalu.  Ah, betapa cepat masa berlalu, sedang aku mulai layu.


“Aku dan dia hanya.....”

“Berpegangan? Itu yang ingin kau katakan?”

“Kau melihat tadi?”  tanyanya.

“Ya. Rancangan kita malam ini batal. Pulanglah dan bawa dia ke rumahmu,”  kataku sambil melirik pada wanita itu. Wanita itu masih tetap duduk di tempatnya berpura-pura tidak tahu. Menyedut ice cappucinnonya dengan tenang. Bibirnya menyungging senyum lebar, menebar kecantikannya seakan-akan ingin meminjakku dan penyakitku dengan bibir indahnya. Kalau aku sespontan Misha,  temanku yang garang itu, tentu sudah kuludahi mukanya yang kotor juga bibir tebalnya yang berani meramas tangan kekasihku tadi.

“Bi.. dengarkan aku. Aku tidak mencintainya.”

“Tapi kau ingin bersama dengannya sepanjang malam ini kan?” kataku akhirnya lalu menghela nafas.

“Hanya.. secara tidak sengaja aku bertemu dengannya di sini, sayang,”  ujarnya sambil cuba menggenggam tanganku yang dingin. Aku menepisnya. Aku bukan seperti perempuan berbibir tebal itu terlalu galak untuk tanganku dielus-elus tanpa batasan.

Kekasihku sememangnya seorang lelaki yang menarik. Tidak hairan ramai wanita suka menggodanya. Dan mungkin lama-kelamaan dia sendiri tidak tahan digoda, apa lagi aku ini yang sering kesakitan akhir-akhir ini.  Tapi dapatkah kumaafkan? Fikirku bimbang saat itu. Aku mendesah dan tersenyum singkat mengingatnya lagi. Betapa bimbangnya, seakan saat itu aku harus memilih hidup atau mati.


“Pergilah padanya dan habiskanlah cheese cakemu bersamanya. Aku harus pergi,”   kataku sambil berjalan keluar dari cafe itu. Kami sudah menjadi tontonan percuma para pengunjung cafe saat itu. Kutinggalkan dia. Nampaknya dia gelisah sepeninggalnya aku. Bibir merah itu masih memakunya di tempatnya ketika aku pergi.


Saat itu menyedarkan aku bahawa kekasihku juga manusia. Di tengah kesepiannya, dia akan mencari kehangatan. Kerana kita tidak diciptakan untuk menjadi sendirian. Mustahil ingin ia menungguku dan setia selamanya. Cinta bagai ornamen hidup. Betapa sepi hidup tanpa cinta. Tapi semua itu tidak akan bererti lagi untukku. Ada ornamen atau tidak, aku tetap seperti ini.. .

Namun semua itu sudah kumaafkan. Masih ada sisa-sisa sakitnya, namun tak bererti lagi. Rasa sakit tidak pernah begitu tidak bererti......  Aku sudah memaafkan semua orang. Juga diriku sendiri. Kata ayahku, hati kita bagaikan kayu, dan kesalahan itu paku. Saat orang berbuat kesalahan pada kita, hati kita bagaikan dipaku. Paku itu menusuk dan melukai kita. Saat orang itu memperbaiki kesalahan dan atau kita memaafkannya, paku itu tercabut dari hati kita. Namun bagaimana pun caranya paku itu dicabut, tetap akan tersisa lubang di kayu itu, bagai kenangan dan pengalaman yang ditinggalkan orang yang menyakiti kita.

Kututup mataku. Kuhirup udara pagi yang masih begitu segar, hingga oksigennya terserap oleh paru-paruku yang rosak. Angin menghembus rambutku sejuk. Kalau saja aku mati saat ini, nyawaku pasti ikut terbang bersama angin ini, ke tempat-Nya yang maha tinggi. Kulipat tanganku dalam sweaterku. Apakah orang yang akan mati selalu memikirkan definisi hidup, untuk apa kita hidup, dan hal-hal dalam hidup seperti aku ini? Ah, tidak juga. 

Sepasang tangan memegang bahuku dari belakang. Aku kenal bau ini. Ini pasti kekasihku. Dia sudah berjanji untuk datang, bercuti tiga hari semata-mata menjenguk aku di sini. Aku sangat mencintainya, kecuali peristiwa malam tahun baru itu. Aku ingin sekali menggenggam kedua tangannya yang kuat itu. Kalau saja aku sekuat ini aku mungkin tidak akan mati.

“Melamun lagi?” tanyanya lembut sambil duduk di hadapanku, di teras ini.

“Iya. Berat rasanya”

“Apa yang kau lamunkan?”

“Malam tahun baru,”  jawabku sambil terkekeh. Dia tersenyum pahit.

“Belum memaafkanku?”

“Tentu saja sudah, sejak lama. Aku hanya ingin mengenang perjalanan cinta kita,”  kataku lalu membalas tatapannya lama dan menyambung;  ”Sebelum aku mati.”

“Tidak, sayang. Kita akan hidup sampai aku seratus tahun dan kau sembilan puluh sembilan,”  ujarnya lagi.

“Carilah gadis baik-baik setelah aku meninggal,”  kataku sambil berbalik menatap matanya. Mata yang indah. Seperti ada cahaya di balik selubungnya. Aku iri pada matanya semenjak pertama aku menatap mata itu.

“Kenapa kau berkata begitu? Kita akan selalu bersama, Kau tidak akan mati, sayang.”

Aku menggeleng.  “Kenyataannya tidak begitu”

“Bernikahlah denganku,”  katanya serius. Ditatapnya dalam mataku, hampir aku pitam dengan tatapannya. 

“Buat apa? Aku akan mati sebentar lagi.”

“Bernikahlah denganku, buat aku jadi lelaki paling bahagia di dunia ini. Kau akan sembuh, Bi. Kubawa kau berubat ke mana pun agar kau sembuh. Tunggu sebulan lagi kontrakku di Jepun.”

“Kau.. selalu saja main-main,”  kataku sambil memalingkan kepala, menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca.

“Kalau aku tidak sembuh? Kalau kemudian aku meninggal?”  tanyaku dengan air mata. 

Kenapa kau rela seperti itu? Hanya menebus dosakah?
“Maka aku akan tetap selalu mencintaimu sebagai isteriku,”  jawabnya begitu pasti. 

Jika ya, apakah kata-kata itu akan selamanya diikrarkan begitu?

“Tidak, sayang. Aku tidak mungkin bernikah denganmu,”  kutunduk, lari dari pandangan matanya. 

“Jalanilah hidup bersamaku, Bi.”

“Sayang.. ‘bersama’ itu perlu orang yang tetap hidup, bukan orang yang mati, akan mati seperti aku.”

“Tuhan tidak sekejam itu mengambilmu dariku,” katanya pahit.

“Tapi kenyataannya itu yang Dia lakukan, bukan?”

“Aku akan menunggu. Terimalah lamaranku,”  mohonnya lagi. 

Oh, Tuhan, andainya aku tidak seperti sekarang ini, tentu sudah kupeluk dia dan kujawab ‘Ya’ dengan pasti, dengan segenap jiwa ragaku!

“Aku percaya cinta kita, sayang. Tapi aku tak mampu.. . pergilah, temukanlah cintamu yang baru!”

“Kau fikir aku boleh? Tidak ada ruang lagi untuk  orang lain, Bi.”

“Cinta yang lain akan menghampirimu. Carilah. Di luar sana masih ramai gadis yang cantik juga baik pekertinya.”

“Kenapa kau begitu tega?”

“Untuk kebahagiaanmu,”  jawabku tawar, cuba pasrah bagaikan gadis-gadis di novel-novelku. Bukankah cinta sejati adalah jika orang yang kita cintai bahagia?

Kami terdiam untuk beberapa lamanya. Ingin sekali kupeluk dirinya untuk merasakan hangat yang tak akan kudapatkan lagi. Cinta yang begitu hangat.

”Kalau reincarnation itu memang ada, aku ingin jadi burung,”   ujarku memecah keheningan itu. Kataku lagi, ”Berjanjilah kau juga akan jadi burung. Kita akan terbang bersama.” 

“kalau kau burung, aku juga jadi burung.”  jawabnya dengan senyum pahit.

Meski aku dan dia tahu itu semua cumalah omongan kosong. Angan yang tak wujud.... tapi biarlah, paling nyata aku boleh tersenyum bersamanya saat ini.

“Walau kelak kau bersama seorang yang lain, tetap cintailah aku. Dalam lubuk hatimu. Dan aku akan bahagia,”  kataku saat ia akan beranjak pergi. Kekasihku hanya menggeleng. Kupaksa ia menggeleng dalam tatapan mataku. Ia tersenyum, sedikit.

“kamu ingat kata-kataku dulu? Tempat seorang suami bukanlah di atas isteri, atau pun di bawahnya; melainkan di sampingnya. Kasihilah wanita yang  beruntung itu  yang mengambil tempatku itu!,” kataku lagi hampir tidak ingin melepaskannya pergi. Ia menundukkan matanya, ada manir halus pada kelopaknya. 

“Pulanglah, sayang. Biar aku berehat,” bisikku lirih. 

“Aku akan kembali sebulan lagi, mengahwinimu dan membawamu jauh. Aku ingin kau seperti dulu, ceria dan bahagia bersamaku,” dia balas perlahan berbisik padaku.

Saat dia berjalan keluar dari pintu rumahku, kupandangi dia segenap jiwa. Betapa ini terakhir kalinya. Semuanya seakan terhenti, diabadikan menjadi lukisan cat minyak yang indah. 
Kekasihku. 
Lalu ia berlalu. Dan aku menarik nafasku dalam-dalam dengan sesak.



                                                                 ***


Aku memutuskan menulis sebuah novel lagi buat terakhir kalinya. Walau aku juga tidak yakin novel ini akan selesai. Mama sering bersamaku, memasakkan apa jenis makanan yang kuinginkan, meski yang kujamah terlalu sedikit. Begitu juga teman-temanku. Kadang kala saat bersama mereka aku teringat pepatah;   ‘kalau ingin menguji teman sejati, ujilah kesetiaannya saat kau susah. Apakah mereka masih bersamamu’.    Namun walaupun aku tahu siapa teman-temanku yang sejati dan tidak, tak ada gunanya lagi.


Waktu malam nafasku sering sesak. Betapa aku ingin mati saat itu,  agar tidak mengalami sakit dan sesak ini lagi. Saat-saat seperti itu aku mencari mama dan berteduh dalam hangat pelukannya. Badan mama selalu harum dan menenangkan. Aku terasa anak kecil yang baru dilahirkan kembali. Hari-hariku terasa makin lemah dan seakan tidak ada gunanya lagi. Sehari aku hanya sanggup menulis tidak sampai seribu aksara. Namun aku ingin menyelesaikan novel ini, sebagai tanda mata pada hari-hari akhir hidupku. Mungkin dapat kutuliskan di belakangnya;  “Untuk semua orang yang aku cintai, juga para pembacaku..”;   Atau kalimat manis lain seperti itu di belakangnya yang saat ini aku lupa untuk berkata apa lagi.


Kalau nanti tangan-Nya menjemputku, aku ingin tidak ada beban lagi di hatiku.  Aku tidak ingin ada dendam lagi di hatiku. Marah membuat kita menyakiti diri sendiri. Aku ingin menjadi hamba yang redha kepada-Nya.

Maria selalu mengingatkanku selalu bersyukur, bukan mengeluh. Bagiku, memang mungkin lebih baik begitu. Bukankah lebih baik bersyukur dapat hidup dua puluh lima tahun lamanya, daripada mengeluh kenapa cepat mati?


Ah, kepalaku makin berat memikirkan semua itu. Kubaringkan tubuhku ke atas ranjang, kututup mataku. Betapa aku ingin mama ada saat ini. Sepuluh minit aku menunggu mama sementara dia siapkan kerja dapurnya. Ketika mama masuk dia terus memeluk tubuhku dan duduk di sampingku dengan menyiapkan teh hangat.

“Mama...”  ujarku meminta pehatiannya. Mama menoleh dan menatap kasih padaku, puterinya yang berusia dua puluh lima tahun dan yang akan mati kerana barah paru-paru.

“Apa kita manusia tidak boleh melawan nasib , ma?”

“Boleh, sayang. Asal kamu kuat..”  jawabnya haru.

“Tapi Bi tak kuat lagi, ma.”

“Kamu boleh sayang. Bukankah kamu belum menyelesaikan novelmu?”

“Oh ya, ambilkan laptop Bi, ma. Bi ingin menulis”

“kepala Bi tidak pening?” Tanya mama risau.

“Sedikit. Kurang beberapa paragraph saja lagi.”

Ibu mengambilkan laptop untuk aku menyiapkan skrip akhirku itu. Beberapa hari ini aku memikirkan endingnya. Namun sudah kudapat jawapannya. Jawapan yang tidak pernah ada sebelumnya di novel-novelku. Happy endingyang manis, yang tidak pernah ada. Melawan ciriku yang anti happy ending.

“Tokoh utamanya tegar, ma. Akhirnya dia bahagia...”  celotehku tanpa sedar pada mama. Di dalam novel itu kutuliskan semua yang tidak mungkin aku dapatkan.  

'Biarlah aku tetap hidup dalam novelku'.  Kutulis di bahagian akhirnya. Setelah selesai kuserahkan laptop itu kepada mama. Kusandarkan kepala ke pangkuan mama.

“Mama, Bi tidak kuat..”

“Bertahanlah, sayang,”   kata mama sambil menangis. Betapa aku ingin menanti permintaannya.

“Bi tidak kuat lagi ma. Sakit, ma. Tidak apa kan kalau Bi pergi?”

“Jangan biarkan mama sendiri, sayang.” kata mama bergetar, tidak tega melihatku.

“Tapi Bi tak kuat lagi, ma. Bi harus pergi..”

“Pergi ke mana, sayang. Kamu akan sembuh….. mama akan membawa kamu pergi ke mana pun kamu mau!”   ujar mama lagi. Kulihat ketegaran dan kesedihan bercampur di matanya. Mama, mama. 

“Mama jangan takut, semua akan berlalu ma. Nanti mama juga akan mengerti.”

“Kamu akan sembuh, Bi!”   tegas ibu lagi di antara derai air matanya. 

Aku hanya menggeleng perlahan. Aku tidak terlahir melawan nasib. Biar kuikuti saja semua maunya.

“Kenapa mama belum mengerti juga? Semua ini tidak menakutkan yang seperti mama kira. Nanti mama juga akan mengerti,”   terangku lirih.

“Kamu tidak boleh berkata begitu, sayang,”  jawab mama lagi. Mengingatkanku pada nasihat-nasihatnya dahulu. Bezanya, saat ini dia berlinang air mata.

“Mama maafkan Bi, ya. Saat terakhir seperti ini, Bi tidak boleh menanti mama. Tapi terima kasih... sudah member Bi hidup ini, ma. Manis seperti aiskrim buatan mama.” 

“Jangan banyak bercakap, sayang. Besok mama bawa berubat,  ya?”   tawarnya lagi untuk puluhan kalinya. Namun tetap aku hanya menggeleng. Mama, mamaku sayang.

“Ma, Novel terakhir Bi kali ini akhirnya bahagia, ma.”

“Kenapa? Bukankah itu bagus?”

“Tahukah mama mengapa?”   tanyaku dengan bodoh. Kata nenek juga, orang yang akan mati biasanya berbicara hal-hal aneh, dan kurasa aku juga?

“Jangan bercakap lagi, berehat dulu, Bi. Bertahan. Mama akan telefon doktor”

Namun aku hanya menggeleng;    “Orang yang tak pernah merasakan kesedihan selalu menyukai cerita sedih, ma. Sebaliknya, orang yang penuh penderitaan akan menyukai happy ending. Bahagia selamanya……  Ma, Bi lelah....”

Kututup mataku dengan seulas senyum. Kadang aku takut untuk tidur, kalau-kalu aku tidak akan bangun lagi. Namun kini kututup mataku. Kini aku takut kalau-kalau yang menjemputku adalah neraka.

“Mama, Bi akan ke syurga kan?”   tanyaku lagi

“Pasti, sayang.”    Jawapannya begitu membuatku tenang. 


Puluhan tahun lalu aku lahir darinya, dan sekarang pun akan berakhir dalam pelukannya. Fikiranku melayang-layang..... 
Kuingat sarapan bersama mama dan ayah. Bau roti bakar yang harum, denting camca di cangkir kopi. 
Kekasihku, email cinta pertamanya padaku, semuanya. 
Lalu aku pun kembali. Bagai daun-daun berguguran, aku kembali pada-Nya, menggenggam hangat tangan-Nya.